Di era hari ini istilah post truth atau paska kebenaran sangat cepat berkembang yang datang menghampiri manusia melalui media sosial dan sejenisnya. Istilah itu menjadi perbincangan banyak orang di dunia. Secara literat, paska kebenaran adalah “setelah kebenaran” yang berarti kebenaran sudah ditinggalkan. Dalam kamus Oxford, post truth merupakan kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh terhadap pembentukan opini masyarakat dibandingkan dengan emosi dan keyakinan personal. Bisa dikatakan juga bahwa post truth adalah era di mana sebuah kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran yang dipercaya.
Biasanya, post truth ini dimanfaatkan untuk kepentingan politik yang marak dengan kebohongan yang dipercaya. Di Indonesia, istilah post-truth dipercakapkan setidaknya sejak Pemilu Presiden 2019 lalu, saat kubu Prabowo Subianto mengklaim kemenangan sebelum perhitungan selesai. Ketika ternyata ia kalah, tentu saja ia dan kubunya menggaungkan narasi konspirasi kecurangan pemilu. Meski kubu Prabowo tidak berhasil menghadirkan bukti, tapi ternyata hal tersebut tidak membuat para pendukungnya ragu. Mereka malah makin percaya dan gigih membela narasi konspirasi ini.
Keadaan post truth dapat terjadi melalui argumen berbentuk alasan logis yang sebetulnya belum tentu benar dan dapat dibuktikan. Sebelum membaca suatu berita atau artikel internet, warganet atau netizen sudah memiliki pendapat pribadi yang telah terbentuk dari stereotype-stereotype yang ada tanpa mencari fakta. Berbagai opini itu sudah tertanam dan seakan telah menjadi fakta sehari-hari yang memang benar, padahal belum tentu. Dengan begitu, pembaca memiliki keterkaitan emosional terhadap apa yang disampaikan oleh berita yang sebetulnya belum tentu benar tersebut.
Post truth berkaitan dengan berita hoax dan korbannya adalah orang-orang yang tidak menyimak. Dengan menebarkan bibit-bibit hoax ke dalam pusaran arus informasi, orang akan mengira kalau berita tersebut benar. Hoax akan diakui kebenarannya tanpa pembuktian, karena ikatan emosional banyak orang telah tertuju pada tesis yang sama dan biasanya besifat menghakimi. Saat itu terjadi, maka suatu kebohongan pun telah menjadi argumen yang bahkan mengalahkan fakta objektif.