Layanan streaming Netflix baru-baru ini kembali merilis film dokumenter berjudul Seaspiracy. Film yang pertama kali ditayangkan pada tanggal 24 Maret 2021 ini telah membuat kontroversi yang menghebohkan dunia. Seaspiracy mengangkat cerita tentang ancaman kerusakan ekosistem laut. Film yang berdurasi 2 jam ini diproduksi oleh sutradara Ali Tabrizi.
Film Seaspiracy ini memperlihatkan bagaimana keserakahan manusia yang memperlakukan hewan laut dengan kejam. Disitu diperlihatkan bagaimana hubungan antara manusia dengan ekosistem laut sangat timpang. Tidak adanya peran saling menguntungkan membuat salah satu pihak menjadi dirugikan, dalam hal ini adalah ekosistem laut. Padahal secara teori, hidup itu harus simbiosis mutualisme dan terjalin hubungan saling menguntungkan antara kedua belah pihak.
Sutradara Ali Tabrizi kali ini berkolaborasi dengan produser Kip Anderson. Sebelumnya, pada tahun 2014 lalu Andersen juga pernah merilis film dokumenter yang mengangkat tema yang hampir sama, berjudul Cowspiracy. Bedanya adalah jika Seaspiracy tema tentang kerusakan ekosistem laut, sedangkan Cowspiracy mengekplorasi kerusakan peternakan hewan terhadap lingkungan. Tak berbeda halnya dengan Seaspiracy, Cowspiracy juga dulu sempat membuat kontroversial.
Kontroversi ini muncul karena begitu banyak hewan laut yang dieksplorasi untuk dijadikan sebagai konsumsi manusia. Pemanfaatan itu dinilai terlalu banyak dan kejam dengan mengambil hewan-hewan laut yang seharusnya tidak di konsumsi. Film ini juga membuat penontonnya merasa tersayat ketika melihat lautan biru yang dalam sekejap berubah menjadi merah. Ditambah lagi dengan suara melengking paus yang tak henti meminta pertolongan.
Seaspiracy pada dasarnya adalah film yang ingin menampilkan bagaimana perilaku merusak manusia berdampak pada lautan dan tentu saja pada keberlangsungan bumi secara keseluruhan. Memperlihatkan sampah plastik laut, jala harimau, dan penangkapan ikan berlebihan di seluruh dunia, film ini mau menggiring pendapat bahwa perikanan komersial adalah musuh utama ekosistem laut.
Ceritanya yang dimulai dari footage aktivitas pesisir dan lautan, kemudian keributan dengan aparat dan penangkapan ikan di tengah badai, membuat penonton mulai terpancing emosinya. Kemudian cerita bergulir kepada masalah plastik yang menggunung di lautan dan lumba-lumba yang dibunuh di Jepang. Ada juga cerita tentang kapal-kapal internasional ilegal yang berlayar untuk menjarah ikan di perairan negara lain. Film ini juga menuding keserakahan manusia yang merusak lautan.
Film dokumenter Seaspiracy ini banyak mendapatkan kritik karena beberapa hal. Pertama, film itu dinilai bersifat subjektif dan hanya menyajikan fakta yang mendukung keinginan sang pembuat film. Menurut Marine Stewardship Council, film ini dinilai tidak jujur dalam memberikan label sustainable pada produk laut. Sementara itu, Plastic Pollution Coallition menyatakan bahwa fil ini melakukan cherry-picking terhadap pernyataan mereka tentang plastik dan fakta yang disajikan tidak menipu. Namun, karena penyajiannya yang dipotong-potong memperkuat framing bahwa hewan laut sebaiknya berhenti di konsumsi.
Film ini juga dituding menjadi salah satu kampanye untuk menjadi vegan dan berhenti mengkonsumsi hasil laut. Namun, hal itu sebenarnya tidaklah bijak. Karena ada banyak orang yang menggantungkan hidupnya dari laut baik dari segi ekonomi maupun gizi.
Terlepas dari kontroversi yang terungkap disepanjang film, banyak juga pengetahuan yang dipaparkan olek para pakar. Diantaranya adalah pengetahuan soal paus yang menyerap karbon di bumi, omega-3 yang sebenarnya dihasilkan oleh tanaman alga, hingga lambang yang menunjukkan ikan ditangkap dengan standar berkelanjutan. Hal positif lainnya yang bisa diambil adalah sebaiknya manusia tidak serakah megambil hasil laut sebanyak yang mereka mau. Tindakan illegal fishing yang selama ini terjadi juga harus ditindak dengan serius.