Saat ini barang elektronik sudah menjadi kebutuhan primer bagi manusia. Tapi kalian sadar atau tidak bahwa barang-barang tersebut tentunya punya batas masa pemakaian. Nah, setelah batas masa pemakaian itu tiba, apa yang harus dilakukan? Apakah harus dibuang begitu saja atau ada perlakuan khusus atau cara mengolah sampah elektronik tersebut?
Laporan tahunan Global E-Waste Monitor 2020 yang dirilis oleh PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) pada bulan Juli lalu, menyebutkan bahwa jumlah sampah elektronik pada tahun 2019 mencapai 53 juta ton. PBB memprediksi jumlah sampah elektronik akan mencapai 74 juta ton pada tahun 2030. Dengan perkiraan tersebut seharusnya sudah ada beberapa cara yang dilakukan untuk mengolah sampah elektronik.
Mengapa sampah elektronik harus diolah? Sampah elektronik atau e-waste bisa membahayakan manusia karena kandungan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang sering dipakai untuk pembuatan barang elektronik. Bahan tersebut misalnya seperti timbal, merkuri, kromium, kadmium, PDBE dan lainnya. Pengaruh B3 sampah elektronik akan terjadi jika dibuang sembarangan atau dikelola dengan cara yang salah. Beberapa bahaya yang bisa ditimbulkan adalah merusak saraf otak dan organ tubuh lainnya, bahkan bisa juga merusak lingkungan sekitar.
Bagaimana mekanisme penyebaran racunnya? Mekanisme yang terjadi adalah ketika sampah elektronik yang beracun dibuang sembarangan. Maka akan terjadi kontaminasi tanah dimana e-waste itu dibuang sehingga berpengaruh terhadap tanaman yang akan tumbuh dari tanah tersebut. Setelah tanaman tumbuh dan menjadi sumber makanan bagi beberapa hewan, maka racun akan menyebar ke hewan tersebut. Lalu tanpa sadar ketika manusia mengkonsumsi hewan yang terkontaminasi itu, manusia juga akan terkena racunnya.
Sebenarnya beberapa tahun terakhir ini negara-negara maju sudah melakukan perlakuan khusus terhadap limbah elektronik. Salah satu penanganan yang dilakukan adalah perluasan tanggungjawab produsen atau EPR (Extended Producer Responsibility). EPR adalah proses dimana produsen bertanggungjawab mengambil kembali produk-produknya. Seperti yang sudah dilakukan oleh negara Jepang, saat konsumen membeli barang elektronik, sudah ada biaya tambahan untuk pengembalian dan proses daur ulangnya.
Sebagian besar pengelolaan sampah elektronik di Indonesia ini masih didominasi oleh sektor informal. Padahal jika dilihat lagi, sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3, pengelolaan sampah elektronik harus dilakukan oleh pihak yang hanya memiliki izin. Dengan mempertimbangkan berbagai bahaya yang bisa ditimbulkannya, maka pemerintah perlu secara tegas melarang pengelolaan sampah elektronik oleh sektor informal. Di sisi lain, pemerintah juga perlu terus mengupayakan tersedianya kotak-kotak khusus untuk membuang sampah elektronik.
Pada saat yang sama, produsen barang elektronik juga perlu didorong agar memproduksi barang dengan kandungan komponen yang lebih ramah lingkungan. Tak kalah pentingnya untuk dilakukan edukasi yang menyasar berbagai lapisan masyarakat bagaimana seharusnya tata kelola sampah elektronik dijalankan, sehingga dampaknya bisa diminimalisir. Patut digarisbawahi, tidak sembarang orang boleh mengelola sampah elektronik. Pengelola haruslah mereka yang memiliki izin secara legal dan mampu mengolah sesuai standar dan telah diterapkan. Pengelolaan dimulai dari tahap pengumpulan, pengangkutan, pemilahan hingga ke proses daur ulang dan pemusnahan.
Sebenarnya pemerintah sendiri pernah mencanangkan tentang EPR yang sudah berlaku di Jepang menjadi solusi pengolahan sampah elektronik di Indonesia. Namun hal tersebut ditolak oleh para pelaku industri elektronik. Bukan tanpa alasan, penolakan tersebut dinilai membebankan produsen karena akan membuat produk elektronik dalam negeri makin sulit bersaing dengan barang impor. Semoga solusi terbaik bisa ditemukan agar lingkungan bisa tetap terjaga dengan baik dan manusia tetap hidup dengan sehat.
thanks for your information,dont forget to visit airlangga university website https://www.unair.ac.id/2022/06/16/direktur-walhi-jatim-pengelolaan-limbah-elektronik-indonesia-belum-maksimal/