Berbicara tentang Kota Solo rasanya identik dengan seni dan budaya. Kota asal Presiden Jokowi ini dianggap sebagai salah satu kota dengan pusat kebudayaan Jawa. Di tengah arus modernisasi, Kota Solo masih tetap mempertahankan kesenian lokal. Salah satunya adalah pertunjukkan wayang orang Sriwedari. Wayang orang adalah salah satu pertunjukkan seni tradisional Jawa, khususnya Jawa Tengah.
Di Gedung yang berada di kompleks Taman Sriwedari, Anda bisa menyaksikan pertunjukan kesenian wayang orang yang terbuka untuk umum setiap malam kecuali hari minggu. Anda bisa menemukannya di sisi barat daya. Sebagai penanda, akan ada sebuah patung kecil berbentuk Gatotkaca sedang bertarung.
Pada bagian serambi gedung Anda bisa melihat-lihat galeri wayang orang dengan deretan potret kegiatan wayang orang dari masa ke masa. Hal yang sangat menarik dan seolah membawa kita ke masa lalu. Pementasan ini berdurasi kurang lebih dua jam. Hampir seluruh dialog memakai bahasa Jawa. Tapi tenang saja, pemimpin pertunjukan akan lebih dulu memberi informasi sekilas mengenai jalan cerita sebelum lakon dipentaskan.
Cerita yang dipentaskan setiap harinya berbeda-beda. Bisa mengambil inspirasi dari kisah Mahabarata atau Ramayana. Saat mementaskan cerita ada empat ikon yang selalu muncul, yakni Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Keempat tokoh ini disebut Punakawan, celotehan-celotehan mereka sering kali membuat para penonton tertawa. Biasanya mereka muncul setelah babak utama ketika cerita yang ditampilkan mulai menegang. Babak tersebut dinamakan goro-goro, yang mengajak penonton bersantai sejenak sambil menerka kira-kira bagaimana kelanjutan kisah utama. Tak hanya guyonan, Punakawan juga kerap memberi nasihat kepada penonton.
Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari pertunjukan wayang orang. Salah satunya adalah bagaimana tabiat baik atau buruk manusia akan kembali pada pribadi masing-masing. Adakalanya di antara fragmen cerita ditampilkan tembang macapat yang sesuai jalan ceritanya. Tembang Megatruh misalnya, tembang ini menunjukkan peristiwa kematian yang akan dinyanyikan saat ada lakon meninggal. Sebaliknya, Tembang Dhandanggula akan terdengar saat para lakon sedang bahagia. Semuanya menunjukkan bahwa kebudayaan wayang orang memiliki nilai luhur.