Hustle Culture merupakan gaya hidup seseorang yang memandang sukses itu dengan harus terus bekerja keras dan sedikit waktu untuk istirahat. Beberapa orang menyebut gaya hidup ini dengan istilah “gila kerja”. Gaya hidup hustle culture ini sebenarnya sudah ditemukan sejak tahun 1971 yang kemudian menyebar cepat terutama di kalangan milenial. Fenomenan ini membuat seseroang percaya bahwa aspek kehidupan paling penting adalah mencapai tujuan professional dengan bekerja keras tanpa henti. Padahal sebenarnya gaya hidup hustle culture ini mempunyai dampak bahaya yang justru bisa mempengaruhi produktivitas seseorang.
Sebuah studi Occupational Medicine mengatakan bahwa orang dengan jam kerja yang lebih panjang cenderung mengalami gangguan kesehatan. Di Amerika sendiri terdapat 55% pekerja mengalami stres karena gaya hidup tersebut. Di Inggris, 14,7% pekerjanya juga mengalami gangguan kesehatan mental. Sedangkan di Jepang, akibat gaya hidup seperti hustle culture pekerjanya mengalami penyakit jantung, strok, hingga gangguan mental yang meningkat 3x lipat.
Di Indonesia sendiri, 1 dari 3 pekerja mengalami gangguan kesehatan akibat jam kerja yang berlebih. Apalagi sejak masa pandemi, seruan agar tetap produktif membuat tren ini kembali menjamur dan kian banyak yang melakukannya. Beberapa bahaya yang ditimbulkan akibat gaya hidup hustle culture adalah:
Gaya hidup gila kerja ini menggaungkan bagaimana cara menyelesaikan tugas sebanyak mungkin dengan sedikit memperhatikan kualitas pekerjaan. Dengan begitu bekerja dimanapun dan kapanpun menjadi sebuah rutinitas yang biasa. Namun sebenarnya orang akan menjadi semakin bingung dengan target atau tujuan yang ingin dicapai. Banyak pula penelitian yang menunjukkan bahwa bekerja dengan jam yang panjang dapat merusak produktivitas dan kreativitas terutama jangka panjang.
Hustle Culture bisa menjauhkan seseorang dari hobi atau kebiasaan yang bisa membuatnya senang. Padahal, melakukan hal yang disukai bisa menjadi cara untuk relaksasi diri. Bisa dibayangkan jika seseorang terus menerus bekerja keras dan meninggalkan hobi, mungkin hidupnya akan terus merasa tertekan.
Seorang yang mempunyai gaya hidup gila kerja akan menganggap bahwa jam makan atau waktu istirahat hanyalah membuang-buang waktu. Padahal jika seorang terus menerus bekerja bisa mengakibatkan burnout dan stres. Hal itu dapat memicu kenaikan atau penurunan berat badan secara drastis, tekanan darah tinggi dan kelelahan. Menurut penelitian dari Occupational Medicine, bekerja terus-menerus juga bisa menyebabkan masalah seperti meningkatnya risiko gangguan tidur dan gejala-gejala depresi.
Bahaya Hustle Culture yang berikutnya adalah selalu merasa tidak puas akan hasil kinerja yang sudah dilakukan. Seseorang sudah berusaha sangat keras seperti sibuk bekerja, menghasilkan ide dan inovasi baru tetapi merasa tidak melakukan apa-apa. Orang itu juga akan menyalahkan diri sendiri karena kurang keras dalam berusaha, Padahal hasilnya seringkali tak terlihat. Tak jarang juga orang itu akan membandingkan pencapaian kerja antara dirimu sendiri dan orang lain. Alhasil, kamu memacu diri untuk lebih keras lagi untuk bekerja padahal kondisi tubuh tidak memungkinkan.
Bekerja keras untuk mencapai kesuksesan bukanlah hal yang salah. Namun harus tetap menyisihkan waktu untuk beristirahat. Kerja keras harus diseimbangkan dengan kegiatan yang bisa membuat pikiran menjadi lebih fresh dan tidak tertekan.