Cara Membagi Saham Usaha

Membagi Saham Usaha

Di dalam usaha pastinya memerlukan modal agar sebuah usaha berjalan dengan baik. Keseluruhan modal ini dapat dibagi menjadi modal materil (uang tunai) dan modal non-materil (keterampilan dan ilmu pengetahuan). Ketika usaha sudah mengalami pertumbuhan yang stabil dan sesuai dengan target pastinya perusahaan akan melakukan ekspansi yang mana tentunya membutuhkan penambahan modal yang besar. Modal usaha bisa bersumber dari berbagai faktor, salah satunya yakni modal yang berasal dari dana investor. Investor akan mendapatkan feedback dari perusahaan berupa saham. Setiap perusahaan tentunya memiliki lebih dari satu investor, oleh karena itu perlu membagi saham usaha untuk investor yang jumlahnya tergantung dari jumlah modal yang diberikan oleh investor.

Saham merupakan sebuah bukti kepemilikian nilai perusahaan yang mana pemilik saham adalah pemilik perusahaan. Semakin besar saham yang dimiliki maka semakin besar kekuasaannya di perusahaan tersebut. Menerbitkan saham menjadi metode utama untuk meningkatkan modal usaha. Nah, berikut ini ada beberapa cara perhitungan untuk membagi saham usaha.

1. Membagi saham usaha antara pemodal dengan modal materil dan pemodal non-materil

Misalnya :

  • Adi (Pemodal Materil) =  uang Rp100 juta, tapi tanpa kemampuan teknis
  • Budi (Non-materil) = Keterampilan memasak, manajemen restoran, standar kesehatan, kepegawaian.

Keduanya lalu mendirikan PT. Ayam Geme, kemudian menyepakati bahwa modal uang ataupun modal keterampilan memiliki nilai saham yang sama. Sehingga harus membagi saham usaha yang nilainya sama rata yaitu 50% dan 50%. Melalui Akta Pendirian diterbitkan 100 lembar saham dan berdasarkan porsi saham Adi maupun Budi berhak atas 50 lembar saham.

Untuk memajukan perusahaannya, mereka menyusun Business Plan yang memuat rencana operasi, strategi-strategi, dan juga proyeksi laba hingga setidaknya 5 tahun, serta memperkirakan valuasi perusahaan. Dalam praktik umumnya, valuasi atau nilai usaha dapat diambil berdasarkan proyeksi cash flow, termasuk potensi penghasilan perusahaan setidak-tidaknya 3 tahun ke depan. Dari proyeksi tersebut, didapatkan potensi pendapatan per tahun, total laba per tahun, sehingga pada akhirnya terhitung sebagai valuasi perusahaan di tahun pertama.

Valuasi merupakan basis penetapan nilai lembar saham. Katakanlah, valuasi perusahaan disepkati sebesar Rp1 miliar di tahun pertama. Dengan kesepakatan penerbitan saham sejumlah 100 lembar, dengan tiap-tiapnya memperoleh 50, maka Adi dan Budi memiliki kekayaan masing-masing dalam bentuk saham senilai Rp500 juta per orang.

Saat usaha restoran berjalan, sebagaimana kesepakatan, Adi bertanggung jawab dalam hal manajemen restoran, dapur, kebersihan, dan manajemen karyawan. Sementara Budi sebagai penyumbang modal memutuskan untuk tidak terlibat dalam operasional dan memilih menjalankan pekerjaannya yang lain.

Vesting Period dan Cliff Period

Vesting Period adalah periode di tahun-tahun awal perusahaan selama waktu ditentukan, tiap pemodal tidak boleh melepaskan kepemilikan saham mereka, baik sebagian ataupun seluruhnya. Dalam hal ini, Adi dan Budi menyepakati vesting period mereka adalah 3 tahun, dengan alasan untuk menghindari konflik, juga menunjukkan komitmen kepemilikan secara bertanggung jawab, terlepas apapun yang terjadi pada usaha. 

Cliff Period merupakan mekanisme pengikat baru investor (termasuk investor baru), yang tujuannya adalah menjaga loyalitas pemodal. Dalam mekanisme cliff, seorang pemodal baru dapat merasakan imbas sahamnya secara utuh setelah melewati periode tertentu, biasanya 5 tahun. Sebagai contoh, jika tahun pertama terlewati dengan baik, ia mendapatkan porsi saham 1/5 dari total saham yang dimilikinya. Setiap tahun bertambah porsi (tahun kedua menjadi 2/5, tahun ketiga 3/5, dan seterusnya), hingga porsi sahamnya utuh.

2. Membagi saham usaha saat pemilik saham bertambah

Dalam hal ini, misalanya ada penambahan karyawan bernama Cici yang diberikan gaji dalam bentuk uang tunai dan saham yaitu gaji standar plus saham sebesar 10%, yang diambil dari 5% saham maing-masing Adi dan Budi. Dengan demikian, Cici turut menjadi pemodal sekaligus sebagai co-founder.

Jika sebelumnya Adi dan Budi sepakat untuk merelakan 5% saham mereka untuk diberikan menjadi total 10% kepada Cici, maka porsi saham mereka tidak otomatis terpotong menjadi tinggal 45% (45 + 45 + 10 = 100%). Mengapa? Tentu saja karena mereka tengah terikat vesting period, di mana saat ini baru memasuki tahun ke-2 dari 3 tahun periode mereka, dan berdasarkan ketentuan mereka tidak diperbolehkan memberikan atau menjual sahamnya kepada pihak manapun.

Lalu, bagaimana pembagian saham 10% kepada Cici?
Saham Khusus dalam Vesting Period

Total saham yang telah diterbitkan perusahaan sebanyak 100 lembar. Lalu, Adi dan Budi memutuskan memberikan 10% saham untuk merekrut Cici, maka 10% saham tersebut sama dengan 10 lembar saham. Karena vesting period tidak memungkinkan Adi dan Budi mengurangi porsi saham mereka dari 50 lembar, maka untuk mengakalinya, diterbitkanlah saham baru 10 lembar, yang nantinya akan diberikan kepada Cici sebagai pemodal baru.

Sebanyak 10 lembar saham tersenut ditambahkan ke dalam saham awal 100, sehingga kini, dengan tiga pemodal, total saham perusahaan menjadi 110 lembar. Adi dan Budi tetap dengan 50 saham, sementara Cici memegang 10 lembar.

Persentase kepemilikannya pun berubah:

  • Adi : 50 saham, berarti 50/110 = 45%
  • Budi : 50 saham, berarti 50/110 = 45%
  • Cici : 10 saham, berarti 10/110 = 9%

Tanpa penyertaan modal baru dan tanpa perubahan target usaha dalam business plan, valuasi PT. Ayam Gemez tetap Rp1 Miliar. Nah, dengan total lembar saham kini menjadi 110, maka harga per lembar saham pun turun, tidak lagi Rp10 juta (Rp1 Miliar/100), tetapi menjadi Rp9 juta (Rp1 Miliar/110).

Sehingga jumlah kekayaan saham tiap-tiap pemodal pun berubah:

  • Adi: 50 saham x Rp9 juta = Rp450 juta
  • Budi: 50 saham x Rp 9 juta = Rp450 juta
  • Cici: 10 saham x Rp 9 juta = Rp90 juta.

Inilah imbas dari pembagian porsi saham yang tetap, namun dipengaruhi jumlah pemilik modal yang bertambah.

3. Membagi saham usaha saat masuknya investor besar

Ketika usaha yang dijalankan berhasil, tentunya pelaku usaha ingin melakukan ekspansi yang mana pastinya membutuhkan modal besar. Oleh karena itu, diperlukan Investor sebagai pemodal besar. Dalam kasus ini, pada tahun ketiga ada Investor yang menawarkan penyertaan modal kepada manajemen sebesar Rp1 miliar. Modal awal usaha adalah Rp 100.000.000 berarti tawaran modal ini adalah 10 kali lipat dari modal awal. Setelah berdiskusi internal, Adi, Budi, dan Cici sebagai pengelola utama selama dua tahun terakhir sepakat untuk memberikan 20% saham untuk Rp1 miliar kepada Dani sebagai Investor. 

Dengan demikian, cash flow dan laba perusahaan bermodal Rp 1 miliar tentunya berbeda dengan yang bermodal Rp 100.000.0000 (modal tahun pertama). Karena itu perusahaan harus kembali menghitung nilai usaha yang baru dengan modal Rp 1 miliar. Jadi, setelah dihitung nilai usaha yang baru (dengan modal Rp 1 miliar) adalah Rp 10 miliar.

Bila yang diminta adalah 20% saham, maka akan diterbitkan saham baru untuk Dani yaitu 22 lembar (20% dari saham awal 110 lembar). Sehingga total saham yang beredar adalah 132 lembar (22 + 110).

Dengan titik valuasi baru sebesar Rp10 miliar dan total saham sebanyak 132 lembar, maka harga per saham kini berada di titik Rp 75.757.757 (10 miliar : 132 lembar).  Nah, dengan demikian, nilai rupiah untuk 22 lembar saham milik Doni adalah Rp 1.666.666.670 atau Rp1,6 miliaran (22 x Rp 75.757.757).

Komposisi saham berjumlah 132 lembar :

  • Adi: 50 lembar (50/132) = 37% – Total kekayaan: 50 x Rp75.757.757 = Rp3.787.887.850
  • Budi: 50 lembar (50/132) = 37% – Total kekayaan: 50 x Rp75.757.757 = Rp3.787.887.850
  • Cici: 10 lembar (10/132) = 8% – Total kekayaan: 10 x Rp75.757.757 = Rp757.577.570
  • Doni: 22 lembar (22/132) = 18% – Total kekayaan: 20 x Rp75.757.757 = Rp1.515.155.140

4. Membagi saham usaha saat saham kosong

Dalam hal ini, Budi keluar dari perusahaan, lalu Ia menjual kepemilikan sahamnya sebesar 50 saham kepada rekannay yang bernama Sita. Akan tetapi, Budi baru 80% menjalani vesting period mereka yang tiga tahun, maka besaran saham yang berhak ia ambil tidaklah utuh, tetapi hanya sebesar 40 lembar (80% x 50).

Dengan harga acuan terakhir sahamnya adalah Rp 75.757.757 yang kemudian disetujui oleh Sita, maka dalam hal ini Budi melenggang keluar perusahaan dengan membawa kekayaan total 40 x Rp75.757.757 = Rp3.030.310.280. 

Hingga suatu ketika manajemen menyadari bahwa terdapat sisa saham yang tidak dibawa pergi Budi, akibat pelanggaran terhadap masa vesting-nya. Saham 50 lembar, dikurangi saham yang ia bawa 40 lembar, menyisakan saham  sebanyak 10 lembar. Sisa saham tersebut menjadi saham tak bertuan atau “Saham Kosong” yang otomatis diserap menjadi milik perusahaan.

Saham Kosong dapat pula dijadikan employee stock ownership plan (ESOP), sebuah skema benefit yang kerap dipakai oleh BUMN. Saham tersebut ditawarkan secara terbuka dan dapat dibeli oleh pihak internal mana saja. Selain itu juga dapat dialihfungsikan menjadi bonus tahunan karyawan atau manajemen tanpa syarat yang mengikat.

Berikut adalah komposisi saham terakhir:

  • Adi : 50 lembar (50/132) = 37%
  • Budi : keluar, tidak lagi memiliki saham.
  • Cici : 10 lembar (10/132) = 8%
  • Doni : 22 lembar (22/132) = 18%
  • Eki : 40 lembar (40/132) = 30%
  • Sisa Saham Kosong: 10 lembar (10/132) = 7%

5. Membagi saham usaha saat akuisisi dan exit

Saat dilakukan akuisisi harga perusahaan yakni sebesar Rp10 miliar untuk keseluruhan brand, karyawan, manajemen, serta aset perusahaan. Semua pemilik saham sudah sepakat untuk melepas porsi saham masing-masing. Dan terlebih lagi, vesting period yang sudah habis membebaskan pemilik saham untuk menjual semua saham tersebut. Mereka bersepakat untuk melakukan exit, yakni proses likuidasi total saham yang dimiliki menjadi uang.

Valuasi terakhir perusahaan adalah Rp10 miliar. Namun dengan berbagai presentasi dan negosiasi, harga yang ditawarkan jauh lebih tinggi yakni Rp 12 miliar. Nilai tersebut disetujui dengan syarat brand perusahaan dimodifikasi dengan tambahan kata-kata “bagian dari grup X”, dan semua visual publikasi restoran disamakan dengan tema grup.

Karena telah memutuskan untuk exit, maka semua pemodal PT. Ayam Gemez sekarang mengalami “panen untung”, karena valuasi perusahaan yang ikut naik. Valuasi baru Rp12 miliar yang dijual bersama-sama kini dapat dicairkan, ikut berpengaruh pada besaran kekayaan yang mereka bawa pergi, sebagai berikut:

  • Adi : 37% x Rp12 miliar = Rp4,48 miliar
  • Cici : 8% x Rp12 miliar = Rp960 juta
  • Dani : 18% x Rp12 miliar = Rp2,16 miliar
  • Sita : 30% x Rp12 miliar = Rp3,6 miliar.
  • Saham kosong: 7% x Rp12 miliar = Rp840 juta.

Begitu memutuskan untuk exit, mereka secara otomatis melepaskan tanggung jawab manajerial dan komisaris kepada pemilik baru.

Categories: Bisnis, Investasi

Tags:

Post Your Thoughts

Related Posts
Perusahaan Sekuritas Terbaik di Indonesia

Perusahaan Sekuritas Terbaik di Indonesia

Bagi Anda yang sudah terjun di dunia investasi, perusahaan sekuritas tentunya bukan hal yang asing…

Perbedaan Trading dan Nabung Saham

Perbedaan Trading dan Nabung Saham

Saham adalah bukti kepemilikan suatu perusahaan yang bisa dijadikan sebagai investasi yang sangat menjanjikan untuk…

6 Investasi Pemula Dengan Modal Kecil Dan Mudah

6 Investasi Pemula Dengan Modal Kecil Dan Mudah

Ketertarikan masyarakat terhadap investasi saat ini mengalami peningkatan yang pesat. Ditambah dengan perkembangan digitalisasi yang…

Close

Whatsapp Chat

Would you like to see our space before joining? Come and visit our coworking space. Please fill out the form and our manager will get back asap.